Perlukah kita bersyahadat lagi setelah berislam..


by: akh Hilman(Direktur PDKT 2008)

akhir-akhir ini banyak bermunculan pemahaman-pemahaman yang cukup membingungkan dikalangan anak-anak sekolah atau bahkan kuliahan. mereka dibingungkan diantaranya mengenai perlukah kita bersyahadat kembali setelah memeluk Islam di depan seorang "pemimpin"?? berikut saya coba share beberapa alasan dan pendapat saya mengenai hal itu, semoga bermanfaat ^_^..

1. Sekalipun para sahabat bersyahadat didepan Rasulullah saw, tetapi anak anak para sahabat tidaklah bersyahadat kepada Rasulullah saw contohnya anak anak dari Ali ibn Abu Thalib

2. Tidak ada tata cara (fiqh) berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist tentang tata cara bersyahadat yang diharuskan di depan seorang pemimpin.

3. Ketika Ali ibn Abi Thalib tidak membai’at Abu Bakar (sebagai pemimpin dari pemerintahan islam saat itu) selama enam bulan, tidak ada seorang pun yang mengatakan Ali ibn Abi Thalib keluar dari din Islam. Dan Abu Bakar adalah pemimpin Aam (seluruh) kaum muslimin

4. Ijma’ (kesepakatan para sahabat) kepada kaum khawarij yang memberontak (bughat) kepada pemerintahan para sahabat. Mereka sepakat menghukumi kaum khawarij sebagai kaum fasiq dan durhaka. Sementara fasiq dan durhaka itu berbeda dengan keluar dari din islam.

5. Bai’at dan syahadat adalah dua hal yang berbeda. Ada kalanya bai’at itu mencakup syahadat dan ada kalanya tidak. Contoh bai’at yang bukan merupakan syahadat (untuk memasuki islam) adalah Bai’aturidwan yang diabadikan dalam surat 48 : 10 dan 18. Bai’aturidwan ini adalah bai’at yang dilakukan oleh para sahabat yang akan menunaikan ibadah haji. Ketika Utsman bin Affan diperintahkan untuk memeriksa keadaan kota mekah, terdengarlah kabar bahwa Utsman bin Affan ditangkap. Kemudian Rasulullah membai’at para sahabat untuk membebaskan Utsman bin Affan sampai titik darah penghabisan. Apakah para sahabat tersebut sudah masuk islam? Lalu mengapa mereka pergi haji bersama Nabi saw jika mereka belum muslim? Dan bai’at itu tidaklah diberikan kecuali kepada khalifah aam (seluruh) kaum muslimin dan bai’at kepada khalifah aam tidaklah dilakukan oleh seluruh kaum muslimin.


6. Riwayat yang ditulis didalam Riyadus Shalihin ketika Usamah bin Zaid, diperintahkan untuk menggempur orang-orang kafir di daerah harura. Kemudian dia melihat seorang tentara kaum kafir melarikan diri. ”Aku bersama seorang dari kalangan anshar mengejarnya. Ketika kami hendak membunuhnya, orang kafir ini mengucapkan kalimat syahadat. Orang anshar menahan pedangnya sementara aku (Usamah bin Zaid) menebasnya dengan pedangku.” Berita ini sampai kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah memanggilku dan bertanya, ”Benarkah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan Laailaahaillallah?” Aku (Usamah) menjawab : Tapi dia mengucapkannya hanya pura-pura untuk melindungi dirinya (agar tidak dibunuh). Kemudian beliau bertanya pertanyaan yang sama diulang-ulang dengan nada yang sangat marah, ”Benarkah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan Laailaahaillallah?”beliau (Rasulullah saw) meneruskan kata-katanya, ”Sudahkah kamu membelah dadanya dan melihat isi hatinya? Sesungguhnya aku tidak diutus untuk melihat isi hati manusia”
Usamah bin Zaid dimarahi oleh Rasulullah karena membunuh orang yang telah bersyahadat (muslim). Lalu apakah waktu itu Usamah bin Zaid diperintahkan oleh Rasulullah untuk menerima syahadat seseorang? Jika orang yang dibunuh itu masih dalam keadaan kafir, mengapa beliau sangat marahnya kepada Usamah bin Zaid? Mengapa pula ... See ... See MoreMorebeliau ... See Moremengucapkan kalimat, ”Sudahkah kamu membelah dadanya dan melihat isi hatinya?” Hal ini seperti yang sudah dibahas diatas, bahwa muslim itu sesuatu yang nampak secara dzahir. Adapun isi hati, Rasulullah pun tidak mengetahui. Termasuk pemberitaan tentang orang-orang munafik. Rasulullah mengetahui siapa-siapa yang menjadi orang munafik sebatas yang Allah beritakan kepadanya. Jadi muslim dan kafir itu nampak secara dzahir. Sementara di zaman sekarang siapakah yang mengetahui siapa-siapa sajakah orang munafiq dikalangan umat ini?


7. Keturunan orang islam berada pada agama orang tuanya (islam) dan keturunan orang kafir berada pada agama islam sampai lidah mereka menjelaskan ihwal dirinya (islam atau kafir). Mengenai hal ini, bisa dilihat pada tafsir ayat QS. Al-A’raf:172 dan QS. Ar-ruum:30 dalam tafsir Ibnu Katsir. Imam Ja’far bin Jarir meriwayatkan dari Al Aswad bin Sari yaitu orang dari Bani Sa’ad, ”Aku berperang bersama Rasulullah sebanyak empat kali. Maka tentara pun menggayang anak-anak? Maka seseorang berkata, ”Wahai Rasulullah, bukankah mereka itu anak-anak kaum musyrikin?” Beliau bersabda, ”Sesungguhnya orang-orang terpilih diantara kamu pun merupakan anak-anak kaum musyrikin. Kecuali itu tidaklah seseorang diri dilahirkan melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ia senantiasa demikian sampai ia menjelaskan ihwal dirinya. Maka bapak-ibunyalah yang menjadikan dia yahudi atau nasrani”


Wallahualam..

0 komentar:

Posting Komentar